بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ
Siapa
Bilang Pacaran Haram ??
Segala puji hanya milik Allah ‘Azza
wa Jalla. Hanya kepadaNya kita memuji, meminta tolong, memohon ampunan,
bertaubat dan memohon perlindungan atas kejelekan-kejelekan diri dan amal-amal
yang buruk. Barangsiapa yang diberi Allah petunjuk maka tidak ada yang dapat
menyesesatkannya dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang dapat
memberikannya hidayah taufik. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang
benar kecuali Allah dan tiada sekutu baginya.
Aku bersaksi bahwasanya Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hambaNya dan UtusanNya.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, keluarganya dan para sahabatnya ridwanulloh ‘alaihim
jami’an.
Pacaran adalah
suatu hal yang telah menyebar luas dikalangan masyarakat sebuah kebiasaan yang
terlarang dalam islam namun sadar tak sadar telah menjadi suatu hal yang sangat
sering kita lihat bahkan sebahagian orang menganggapnya adalah suatu hal yang
boleh-boleh saja, kebiasan tersebut adalah apa yang disebut sebagai pacaran.
Oleh karena itu maka penulis mencoba untuk memaparkan sedikit tinjauan islam
tentang hal ini dengan harapan penulis dan pembaca sekalian dapat memahami
bagaimana islam memandang pacaran serta kemudian dapat menjauhinya.
Pacaran
yang dikenal secara umum adalah suatu jalinan hubungan cinta kasih antara
dua orang yang berbeda jenis yang bukan mahrom dengan anggapan sebagai
persiapan untuk saling mengenal sebelum akhirnya menikah[1].
Inilah mungkin definisi pacaran yang
banyak tersebar dikalangan muda-mudi. Maka atas dasar inilah kebanyakan
orang menganggap bahwa hal ini adalah suatu yang boleh-boleh saja, bahkan lebih
parahnya lagi dianggap aneh kalau menikah tanpa pacaran terlebih dahulu –wal
‘iyyadzubillah –. Lalu jika demikian bagaimanakah tinjauan islam tentang
hal ini? Berikut penulis coba jelaskan sedikit kepada pembaca –sesuai dengan
ilmu yang sampai kepada penulis– bagaimana islam memandang pacaran.
Pacaran
adalah suatu yang sudah jelas keharamannya dalam islam, dalil
tentang hal ini banyak sekali diantaranya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla
:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ
فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan”.
(Al Isra’ [17] : 32).
Ayat ini adalah dalil tegas yang
menunjukkan haramnya pacaran.
Berkaitan dengan ayat ini seorang ahli
tafsir Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di –rahimahullah- mengatakan
dalam tafsirnya,
“Larangan
mendekati suatu perbuatan nilainya lebih daripada semata-mata larangan
melakukan suatu perbuatan karena larangan mendekati suatu perbuatan mencakup
larangan seluruh hal yang dapat menjadi pembuka/jalan dan dorongan untuk
melakukan perbuatan yang dilarang”.
Kemudian Beliau –rahimahullah-
menambahkan sebuah kaidah yang penting dalam hal ini,
“Barangsiapa
yang mendekati suatu perbuatan yang terlarang maka dikhawatirkan dia terjatuh
pada suatu yang dilarang”
[2].
Hal senada juga sebelumnya dikatakan
penulis Tafsir Jalalain demikian juga Asy Syaukani
–rahimahullah- namun Beliau menambahkan, “Jika suatu yang
haram itu telah dilarang maka jalan menuju keharaman tersebut juga dilarang
dengan melihat maksud pembicaran”
[3]. Bahkan diakatakan oleh Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin –rahimahullah-, “termasuk
dalam ayat ini larangan melihat wanita yang bukan istrinya (yang tidak halal
baginya, pen.), mendengarkan suaranya, menyentuhnya, sama saja apakah ketika
itu dia sengaja untuk bersenang-senang dengannya ataupun tidak”
[4]. Dari penjelasan para ulama ini
jelaslah bahwa pacaran dalam islam hukumnya haram karena pacaran termasuk dalam
perkara menuju zina yang Allah haramkan ummat nabiNya untuk mendekatinya.
Jika ada yang mengatakan bahwa pacaran
belumlah dapat dikatakan sebagai perbuatan menuju zina, maka kita
katakan kepadanya bukankah orang yang paling tahu tentang perkara yang dapat
mendekatkan ummatnya ke surga dan menjauhkannya dari api neraka telah
mengatakan :
وَ احْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ وَ غَضُّوْا
أَبْصَارَكُمْ وَ كَفُّوْا أَيْدِيَكُمْ
“Jagalah kemaluan
kalian, tundukkanlah pandangan-pandangan kalian dan tahanlah
tangan-tangan kalian”.
Dalam hadits yang mulia ini terdapat
perintah untuk menundukkan pandangan dan
hukum
asal dari suatu perintah baik itu perintah Allah ‘Azza wa Jalla ataupun
perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dan adanya tunututan
untuk melaksanakan apa yang diperintahkan dengan segera
[6].
Maka jelaslah bahwa pacaran adalah
suatu yang diharamkan dalam islam.
Kemudian jika ada yang mengatakan kalau seandainya pacaran tidak dibolehkan maka
bagaimanakah dua orang insan bisa menikah padahal mereka belum saling kenal?
Maka kita katakan pada orang yang
beralasan demikian dengan jawaban yang singkat namun tegas bukankah petunjuk
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk?
Bukankah Beliau adalah orang yang paling kasih
kepada ummatnya tidak memberikan petunjuk yang demikian? Firman
Allah ‘Azza wa Jalla,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah datang
kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, amt berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”.
(At Taubah [9] : 128).
Kata حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ
pada ayat di atas ditafsirkan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
–rahimahullah- berarti bahwa, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah orang yang mencintai kebaikan kepada kita ummatnya, mengerahkan
seluruh kesungguhannya dalam rangka menyampaikan kebaikan kepada mereka,
bersemangat untuk dapat memberikan hidayah (irsyad, pent.) berupa iman kepada
mereka, tidak suka jika kejelekan menimpa mereka dan menegerahkan
seluruh usahanya untuk menjauhkan mereka dari kejelekan
”[7].
Dengan demikian ayat di atas jelas menunjukkan bahwa Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling kasih pada ummatnya dan paling
menginginkan kebaikan untuk mereka namun Beliau tidaklah mengajarkan kepada
ummatnya yang demikian. Simak pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
:
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى
إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ
لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ
“Sesungguhnya
tidak ada Nabi sebelumku kecuali wajib baginya menunjukkan kepada umatnya
kebaikan yang dia ketahui untuk umatnya, dan mengingatkan semua kejelekan yang
dia ketahui bagi umatnya…”.
Maka hendak kemanakah lari orang yang
berpendapat kalau seandainya pacaran tidak dibolehkan maka bagaimanakah
dua orang insan bisa menikah padahal mereka belum saling kenal? Bukankah
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan dan mempraktekkan
bagaimana tatacara menuju pernikahan? Apakah Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengajarkan kepada kita cara mencari pasangan hidup
dengan pacaran? Wahai pengikut hawa nafsu hendak kemanakah lagi engkau
palingkan sesuatu yang telah jelas dan gamblang ini ??!!!
Kalau seandainya yang
demikian dapat mengantarkan kepada kebaikan tentulah Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada kita.
Sebagai penutup kami nukilkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang posisi shaf laki-laki dan
perempuan dalam sholat, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan
:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا
وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik
shaf laki-laki adalah yang pertama, sejelek-jeleknya adalah
yang paling akhir dan Sebaik-baik shaf perempuan adalah yang
paling akhir, sejelek-jeleknya adalah adalah yang paling awal”.[9]
Maka renungkan wahai saudaraku
apakah
lebih layak orang –bukan suami istri– yang tidak
sedang dalam keadaan beribadah kepada Allah untuk berdekatan, berdua-duan dan
bermesra-mesraan serta merasa aman dari perbuatan menuju zina padahal Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia mengatakan yang demikian !!!??
Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menyatakan :
ما نَهَيتُكُمْ عَنْهُ ، فاجْتَنِبوهُ
Allahu Ta’ala a’lam bish showaab,
mudah-mudahan yang sedikit ini dapat menjadi renungan bagi orang-orang yang
masih melakukannya dan bagi kita yang tidak mudah-mudahan Allah jaga anak
keturunan kita darinya.
Menjelang malam, 17 Jumadi Tsaniyah
1430/11 Juni 2009.
Abu Halim Budi bin Usman As Sigambali
Yang selalu mengharap ampunan Robbnya
[1]
Jika tujuannya seperti ini saja terlarang
bagaimana jika tidak dengan tujuan yang demikian semisal hanya ingin berbagi
rasa duka dan bahagia ??!! Tentulah hukumnya lebih layak untuk dikatakan haram.
[2]
Lihat Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan hal. 431
terbitan Dar Ibnu Hazm Beirut, Libanon.
[3]
Lihat Fathul Qodhir hal. 258, terbitan Maktabah Syamilah.
[4]
Lihat Syarh Al Kabair hal. 60 terbitan Darul Kutub Al Ilmiyah,
Beirut, Lebanon.
[5]
HR. Ibnu Khuzaimah no. 91/III, Ibnu Hibban no. 107, Al Hakim no. 358-359/IV,
Ahmad no. 323/V, Thobroni no. 49/I dan Baihaqi no. 47/II, dan dihasankan oleh
Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1525.
[6]
Lihat Ushul Min Ilmi Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh
Al ‘Utsaimin –rahimahullah- hal. 24 terbitan Darul Aqidah
Iskandariyah, Mesir.
[7]
Lihat Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan hal. 334
terbitan Dar Ibnu Hazm Beirut, Libanon.
[8]
HR. Muslim no. 1844 dari jalan Ibnu Amr radhiyallahu ‘anhu.
[9]
HR. Muslim no. 132 dan lain-lain.
[10]
HR. Bukhori no. 7288, Muslim no. 1337
Tidak ada komentar:
Posting Komentar